Menenteng Duka Menyeberang Lautan, Selamat Jalan Ayah Anakku

Pagi itu langit tiba-tiba mendung. Aku ingat, 15 Januari 2013, hari Selasa yang resah. Kabar pertama datang saat aku sedang berasyik masyuk dengan rentetan pekerjaan di kantor. Cek sana-sini, memastikan semua tulisan layak naik promosi di media sosial. Aku bekerja di salah satu media entertainment online di Indonesia.

"Rino baru sadar dari koma," ucap seorang wanita di ujung telepon.

Ibu mertuaku. Beliau jauh berada di Balikpapan. Sementara anaknya, ayah anakku, sudah seminggu belakangan itu berada di sana, terbaring semakin lemah. Aku sempat ngobrol sebentar dengannya pagi itu. Dia menyapaku hangat. Aku tahu, sebenarnya dia tak sanggup bicara, sehingga kalimatnya terdengar samar. Seperti selalu, dia bertanya kabar.

"Kamu lagi ngapain?" ujarnya.

"Kerja," balasku singkat.

"Sudah makan?" imbuhnya.

"Sudah. Kamu yang harus makan. Katanya mau ajak Rangga main ke pantai," jawabku.

"Iya," ganti dia yang membalas singkat.

Nafasnya sudah tersengal-sengal. Aku memintanya untuk tak bicara lagi. Aku hanya meminta dia untuk mendengarkan apa yang aku katakan. Aku hanya meminta dia untuk sembuh, dan mengajak anaknya main ke pantai, seperti yang selalu diminta anaknya, seperti janjinya sendiri waktu terakhir kali dia meneleponku, 6 bulan sebelum hari itu.

Telepon lalu ditutup. Aku kembali larut, kali ini dalam rentetan angka dalam kolom-kolom Excel. Merekap data pageview memang selalu aku lakukan setiap hari, agar tak ada beban saat tiba waktu mengumpulkan laporan di akhir bulan nanti. Namun kali ini fokusku terpecah-pecah. Ada bayangan wajahnya, ada kenangan kebersamaan kami.

Tujuh jam berselang. Sudah hampir maghrib, dan seperti biasa, aku masih bergelut dengan komputerku. Sedikit menghibur diri, melepas penat dengan mengintip apa yang baru di YouTube, scrolling timeline Twitter, dan blogwalking ke 'rumah' teman-teman dekat. Sampai di saat telepon genggamku berdering lagi, dari Balikpapan lagi.

"Maafin Rino ya, Na. Kalau ada salah-salah, jangan disimpan dendam," lembut ibunya memohon padaku.

"Iya, mi. Nana nggak pernah menyimpan dendam kok," aku pastikan itu.

Rino sedang koma. Rasanya aku ingin segera terbang ke sana, menggenggam tangannya supaya hangatku membangunkannya dari 'tidur' itu. Aku, tentu saja sudah memaafkan apapun yang dia pernah perbuat padaku, yang menyakiti hatiku. Aku, tentu saja tak menyimpan sedikit pun dendam padanya. Karena aku, tentu saja sangat menyayanginya.

"Semoga Rino bisa segera melewati masa kritisnya," kusampaikan harapanku pada ibunya.

Telepon ditutup lagi. Aku kembali ke meja kerjaku. Tak ada aplikasi Traveloka waktu itu di telepon genggamku. Dipakai untuk install Google Amalytics yang seharusnya dipunya setiap Managing Editor saja, gadget itu tak mampu, apalagi mau diisi aplikasi lain yang bukan urusan kantor. Aku lalu membuka website-nya dari desktop.

Malang - Balikpapan. Begitu yang pertama aku input dalam field flights. Sialnya, harga penerbangan dengan rute itu selalu saja mahal. Aku mengubah kota keberangkatan. Surabaya - Balikpapan. Aku sudah yakin bisa berangkat malam itu dengan rute tersebut. Tapi, lagi-lagi sial, ternyata tak ada lagi jam penerbangan selepas jam enam sore.

Adzan maghrib berkumandang dari televisi yang dipasang di dalam ruangan kerjaku, untuk memantau kanal-kanal gosip artis. Sudah agak telat kalau untuk daerah Jawa Timur, dan aku bergegas ke musalah kecil di kantor. Entah kenapa, reflek tanganku meraih telepon genggam, dan membawa serta bersamaku. Kuletakkan dia di sampingku sementara salat.

Dalam sujudku, baru kali itu aku menangis. Aku ingin bersamanya, menemani di saat terberatnya, tapi aku tak mau dia ikut menunggu. Dalam sujudku, baru kali itu aku tak meminta apapun kecuali ketabahan hati dan keikhlasan jika memang Tuhan lebih sayang padanya, dan ingin membebaskan dia dari sakit itu.

Kusebut berkali-kali namanya dalam rapalan doaku malam itu, "Aku ingin bertemu, tapi jika itu justru membuatnya semakin tersiksa, tumbuhkan saja rasa ikhlasku."

Tepat saat aku menutup doa dengan tiga kali 'amin', telepon genggamku berdering lagi. Kali ini kakak perempuannya. Tenang sekali suaranya, dan tentu saja dia ingin aku juga tenang. Aku tak berkata apa-apa setelah menjawab salam darinya. Kabar itu pun datang. Akhir dari beban sakit Rino, tepat saat aku merapalkan doa meminta keikhlasan.

Sangat tenang aku membalas kabar itu dengan kalimat 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un', sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada Allah jugalah kami kembali. Telepon ditutup dari sana, dan pecahlah tangisku. Pedih. Sebentar saja. Lalu dengan tenang aku kembail ke meja kerjaku, ke depan komputer yang masih menampilkan halaman Traveloka.

Surabaya - Balikpapan. Penerbangan paling pagi, jam lima aku harus sudah berada di Bandara Juanda. Proses yang sangat cepat. Booking, bayar lewat komputer juga, dan selesai. Masih dengan tenang, bahkan makin tenang, aku menghubungi agen travel langganan, memesan rute dari Malang ke Surabaya. Ada. Alhamdulillah.

Dalam segala keterbatasan, tak hanya waktu, tapi juga materi, fitur best price finder Traveloka untungnya menggiringku ke angka yang masih sangat terjangkau kantong kala itu. Hanya butuh 400 ribu rupiah saja untuk perjalanan membawa duka dari Surabaya ke Balikpapan kali ini. Seolah semesta bersahabat dan memberi segala kemudahan.

Pulang ke rumah hampir jam sepuluh malam, dan mengabarkan duka yang dalam ini pada ayah dan nenekku. Mereka tak bisa berkata-kata, hanya memandangiku yang langsung berkemas. Aku berangkat menuju dia. Memendam harapan untuk dapat melihat wajahnya terakhir kali. Memendam harapan untuk bisa menyentuh tangannya sedikit saja.

Sayangnya itu semua tinggal harapan. Liang kuburnya ditutup, tepat saat pesawatku mendarat mulus di Bandara Sepinggan. Sahabat baikku yang menjemputku, dan langsung mengantarkanku ke pemakaman. Tanahnya masih basah, bunga-bunga masih segar bertaburan di atasnya. Namanya tertulis di papan kayu.

"Selamat jalan kamu. Selamat jalan ayah anakku. Sampaikan salamku pada tujuh bidadari yang bakal mengisi hari-harimu di surga nan indah," lalu kulantunkan rentetan doa dalam hati. Dalam hati saja. Tak ada yang perlu dengar.

No comments:

Powered by Blogger.