Supernova: Gatot Kaca, Puteri dan Bintang Jatuh

Meski telat empat tahun jadi penggemar Supernova, tapi di 2005 saya sudah baca habis mulai dari seri Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh hingga Akar. Saya bukan seorang penggemar sains, dan saya banyak nggak ngertinya saat baca novel karya Dewi Lestari itu. Beruntung, dia menuliskan footnote untuk setiap kata yang asing bagi orang awam seperti saya, di tiap halaman yang mengandung bahasa sains.

Banyak pengetahuan baru yang saya dapat dengan baca rangkaian novel ini. Secara pribadi, saya jadi berpikir, apakah memang benar ada apapun itu yang diceritakan oleh Dee dalam buku-bukunya. Larut dalam dimensi berupa lembara-lembaran kertas yang bertransformasi jadi tiga dimensi, itulah yang saya rasakan. Percaya atau nggak, setiap baca seri Supernova, saya seolah ikut masuk ke dalam kisah-kisahnya.

Super kaget saat tiba-tiba beredar kabar di media bahwa seri pertama Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh bakal dijadikan film. Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana rangkaian cerita absurd dalam buku itu bakal di-visual-kan oleh mereka. Ketika tahu siapa produser proyek ini, saya semakin galau. Saya abaikan poin positif bahwa film ini diarahkan oleh sutradara kondang, Rizal Mantovani.

SPOILER ALERT! Kalau belum nonton, segera klik tombol silang di pojok kanan atas, asal kamu bukan pengguna macbook.

Saya mengikuti promo gencar mereka lewat media sosial. Bagaimana mereka perlahan-lahan memperkenalkan satu per satu tokoh dalam film tersebut, hingga seperti apa poster dan trailer yang mereka rancang, saya nggak pernah luput tahu. Kekecewaan demi kekecewaan harus ditelan bulat-bulat saat tahu nama-nama yang sama sekali di luar bayangan saya untuk setiap tokohnya. Saya siap untuk kecewa.

Dalam kekecewaan saya itu, tetap ada tekad yang bulat untuk menonton film tersebut di hari pertamanya tayang. Siap dicaci, begitulah rasanya. Saya sudah terlanjur tidak berekspektasi lebih pada film ini. Yang ada hanya keinginan untuk jadi salah satu orang yang menjadi saksi bahwa imajinasi Dee tidak akan pernah terkalahkan, apalagi oleh fim yang diadaptasi dari novelnya sendiri. Saya semakin siap untuk kecewa.

11 Desember, hari yang dinanti tiba. Jam 18.10, saya dan teman-teman yang juga punya kecintaan sama terhadap rangkaian novel Supernova sudah siap duduk di barisan C dalam Sarinah Cineplex Malang. Sayang sekali, tampaknya tak semua yang ada di dalam sana memang benar-benar paham apa isi cerita Supernova: Ksatria, Puteri, dan BIntang Jatuh. Momen perkenalan Dhimas dan Ruben jadi pembuka.

Dimas dan Ruben, dua warga negara Indonesia yang jadi mahasiswa negeri Paman Sam. Dimas yang diperankan oleh Hamish Daud kuliah di Goerge Washington University, dan Ruben yang diperankan Arifin Putra berkuliah di John Hopkins Medical School. Pertemuan selanjutnya, pesta yang meriah di rumah teman Dimas, di mana mereka berkelana dalam imajinasi liar karena 'badai serotonin' dari sebutir pil.

Mereka berdua pun tripping. Dari imajinasi Ruben yang sedang bermeditasi, hingga ratusan burung merpati yang beterbangan meliputi Dimas. Seharusnya bagian ini bisa dieksekusi lebih halus dengan visual yang dikemas lebih trippy lagi. Perasaan nyaman dan senang yang dihasilkan oleh hormon serotonin tadi seharusnya bikin keduanya bisa lebih berbinar dari binar Hamish dan Arifin dalam scene tersebut.

Cita-cita pasangan gay itu untuk bikin karya bersama pun diwujudkan dalam bentuk tulisan roman yang seharusnya bercampur sains. Tapi saya nggak merasakan kehadiran elemen tersebut dalam kisah Ferre dan Rana yang asyik selingkuh. Film ini sibuk mengekpos Rana yang diperankan oleh Raline Shah yang sudah bersuamikan Arwin yang diperankan Fedi Nuril, bisa jatuh cinta pada Ferre dalam sosok Herjunot Ali.

Kisah hidup Ferre yang sudah ditinggal ayah ibunya sejak kecil, membawa obrolannya dengan Rana sang wakil pemred majalah wanita itu ke imajinasi berupa animasi tentang Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Saya nggak tertawa waktu muncul si ksatria kartun dengan dandanan ala Gatot Kaca itu. Bagi saya, di sini letak nilai lebih dari film ini. Mereka mengemas cerita dari buku dongeng favorit Ferre itu dengan cukup baik.

Di tengah begitu banyaknya usaha Ferre dan Rana untuk bisa selalu bersama, bertemu diam-diam di sebuah hotel, hingga berduaan di sebuah yacth mewah, muncullah sosok bintang jatuh. Dalam novelnya, tokoh ini adalah favorit saya. Jadi, bayangan wanita anggun, cool, dan smart ini seketika buyar ketika Paula Verhoeven yang memerankan Diva itu mulai buka mulut untuk bicara. Luntur sudah imajinasi sosok Diva versi saya.

Tapi karena saya sudah siap kecewa sejak awal, kekuatan untuk tetap duduk manis di dalam bioskop pun sangat besar. Bahkan bagaimana scene Ferre dalam taman Firdaus dan berhadapan dengan cermin ajaib itu dieksekusi ala kadarnya pun, nggak bikin saya berontak dan berlari keluar. Mereka yang belum pernah baca novel ini sebelumnya, tentu sudah nggak betah berlama-lama lagi di dalam situ sambil berpikir, 'apa sih turbulensi?' mungkin.

Alhasil, saya nikmati saja alur ceritanya sampai habis. Bagaimana Arwin yang super kaku akhirnya berhasil bilang pada Rana kalau dia mencintai istrinya itu, hingga bagaimana Ferre yang nyaris mati bunuh diri akhirnya bertemu dengan Diva, sang model, tentangga depan rumahnya. Semua saya nikmati, sambil bertanya-tanya, mana taman cantik yang mencerminkan Diva sebagai sosok yang suka berkebun, dan tentunya.... mana Gio.

Setelah tuntas 2,5 jam menonton, sesampainya di rumah, saya nggak ada niatan sama sekali untuk membuka media sosial ataupun review soal film ini dari siapapun juga. Saya nggak mau terkontaminasi pendapat orang lain, sebelum saya menuliskan sendiri apa yang saya rasakan ini. Kalau kamu berniat nonton, tolong jangan tertawa saat Ruben mencium Dimas, atau saat Rana merasa sedang diperkosa oleh suaminya.

Itulah kisah masterpiece Dimas dan Ruben. Satu tulisan atau riset yang membantu menjembatani semua percabangan sains. Roman yang berdimensi luas dan mampu menggerakkan hati banyak orang. Well, karena cara setiap orang menangkap pesan dari sebuah film itu berbeda-beda, maka saya sarankan kamu untuk tetap menonton Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh jika masih ada di bioskop terdekat dari tempatmu berdiri sekarang. ;)

Salam jaring laba-laba!

4 comments:

  1. daku termasuk satu yang tertawa ngeliat dua adegan itu. lebih karena.......................ebuset cuman segini aja penggambaran momen yang menggetarkan di buku itu. terlalu dangkal. terlalu...................yaaah terlalu shitnetron. tidak seagung yang dibayangkan dari buku.

    btw, kehadiran si paula sudah merusak dari detik dia pertama ngomong bacain kalimat2 pembukanya. terlalu cadel. terlalu.......... ditinggi2kan.

    diva dalam bayangan adalah sosok yang agung tapi low profile. bukan kayak paula yg muncul seperti patung.

    ReplyDelete
  2. dari sekian tahun, ini pertama kalinya nulis komen di blog orang

    permisi numpang lewat

    ReplyDelete

Powered by Blogger.